Selasa, 03 Januari 2012

bencana tanah longsor

MAKALAH
MANAJEMEN LINGKUNGAN HIDUP
BENCANA TANAH LONGSOR

DISUSUN OLEH :
RAMADANA
NIM 204101010028
DOSEN SAIFUL RAMADHAN, S.pi, M.si
FAKULTAS PERTANIAN
PRODI BUDIDAYA PERAIRAN
UNISI
T.A 2010-2011




KATA PENGANTAR
Puji sukur saya ucapkan kepada kehadiran allah swt, karan berkat dan rahmatnya saya diberi kesehatan untuk melaksanakan kuliah seperti biasanya. Dan tidak lupa saya mengucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing mata kuliah manajemen lingkungan hidup bapak saiful ramadhan. S.pi, M.si karna berkat dukungan dan masukannya saya dapat menyelesaikan tugas induvidu makalah manajemen lingkungan hidup. Dan juga saya ucapkan terimakasih kepada rekan-rekan mahasiswa/i.
Masalah yang saya angkat dalam makalah ini bertema “BENCANA LONGSOR”, dikarnakan sering terjadinya bencan longsor diindonesia khususnya didaerah berbukit dan pingiran sungai. Semoga dengan masalah lingkungan yang saya angkat ini, kita dapat lebih mengetahui apa iu longsor dan apa penyebab terjadinya bencana longsor.
Demikianlah yang saya dapat sampaikan, mohon maaf yang sebesarnya apa bila didalam penyampaian terjadi kesalahan dalam penyebutan nama maupun gelar. Diharapkan adanya masukan baik keritik maupun saran, agar dapat menyempurnakan isi makalah ini. Demikianlah saya ucapkan terimakasih.
Tembilahan, 11 november 2011
Penyusun

PENDAHULUAN
I. Latar belakang
Bencana alam sebagai peristiwa alam dapat terjadi setiap saat dimana saja dan kapan saja, disamping menimbulkan kerugian material dan imaterial bagi kehidupan masyarakat. Gerakan tanah adalah salah satu bencana alam yang sering mengakibatkan kerugian harta benda maupun korban jiwa dan menimbulkan kerusakan sarana dan prasarana lainnya yang membawa dampak social dan ekonomi. Bencana adalah sesuatu yang tidak kita harapkan, oleh karena itu pemahaman terhadap proses terjadinya gerakan tanah berikut faktor penyebabnya menjadi sangat penting bagi pemerintah maupun masyarakat. Alternatif penanggulangan bencana baik dari aspek pencegahan (preventif), pengurangan (mitigasi) maupun penanggulangan (rehabilitasi) perlu dikaji secara mendalam.
Berbagai fenomena bencana khususnya longsor yang terjadi secara merata di berbagai wilayah di Indonesia pada awal tahun 2002 dan 2003 ini, pada dasarnya, merupakan indikasi yang kuat terjadinya ketidakselarasan dalam pemanfaatan ruang, yakni : antara manusia dengan kepentingan ekonominya dan alam dengan kelestarian lingkungannya.
Penyebab terjadinya bencana longsor sendiri secara umum dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) hal, yakni :
1. kondisi alam yang bersifat statis, seperti kondisi geografi, topografi, dan karakteristik sungai,
2. peristiwa alam yang bersifat dinamis, seperti : perubahan iklim (pemanasan) global, pasang – surut, land subsidence, sedimentasi, dan sebagainya, serta
3. aktivitas sosial-ekonomi manusia yang sangat dinamis, seperti deforestasi (penggundulan hutan), konversi lahan pada kawasan lindung, pemanfaatan sempadan sungai/saluran untuk permukiman, pemanfaatan wilayah retensi
Pada era otonomi daerah dewasa ini, inisiatif untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat cenderung diselenggarakan untuk memenuhi tujuan jangka pendek, tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan jangka panjang. Konversi lahan dari kawasan lindung – yang berfungsi menjaga keseimbangan tata air – menjadi kawasan budidaya (lahan usaha) guna meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Bencana longsor yang terjadi belakangan ini telah menimbulkan korban jiwa dan kerugian harta benda yang besar, disamping itu menyisakan pula berbagai permasalahan, seperti : (1) menurunnya tingkat kesehatan masyarakat akibat penyebaran wabah penyakit menular (waterborne diseases) ; (2) munculnya berbagai kerawanan sosial ; dan (3) menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat
II. Tujuan
1. Untuk mengetahui gejala umum terjadinya tanah lonsor dan penyebab
terjadinya bencana alam tanah lonsor dan pencegahan terjadinya
bencana alam tanah longsor.
2. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan.




BAB II
PEMBAHASAN
Bencana longsor merupakan fenomena geologi dimana terjadi gerakan massa batuan, tanah yang menuruni lereng dan keluar dari lereng. Terjadinya gerakan massa batuan dan tanah tersebut dikarenakan akumulasi air yang terdapat di dalam tanah sehingga bobot tanah menjadi besar. Jika air tersebut menembus sampai tanah kedap air dapat berperan sebagai bidang gelincir, maka tanah menjadi licin dan tanah yang mengalami pelapukan di atasnya akan bergerak mengikuti lereng dan keluar lereng. Untuk mengetahui karakteristik longsor, harus diketahui pula sifat-sifat fisik dan morfologi tanah.
I. Sifat-sifat Fisik Tanah
a. Lapisan Tanah
Menurut Pulmmer (1982: 329) lapisan tanah berkembang dari bawah ke atas, tahapannya merupakan lapisan lapisan sub horizontal yang merupakan derajat pelapukan. Setiap lapisan mempunyai sifat fisik, kimia dan biologi yang berbeda. Lapisan tanah berbeda dengan lapisan sedimen karena tanah berada tidak jauh dari tempat terjadinya, sedangkan sediment sudah tertransportasi oleh angin, air atau gletser dan di endapkan kembali. Horizon-horizon membentuk lapisan tanah.
1. Horizon O Adalah horizon yang paling atas dan merupakan lapisan akumulasi bahan organik di permukaan yang menutupi tanah mineral. Bahan organik yang terkumpul merupakan sisa tumbuhan dan binatang yang sudah terurai oleh bakteri dan proses kimia.
2. Horizon A Memiliki ciri-ciri berwarna kehitam-hitaman atau abu-abu gelap karena mengandung humus. Pada horizon A telah kehilangan sebagian unsur aslinya karena yang berukuran lempung terbawa air ke bawah. Di bawah horizon A terdapat horizon B yang berwarna kecoklatan atau kemerahmerahan. Pada horizon ini terjadi pengayaan lempung, hidroksida besi dan alumunium.
3. Horizon B Mempunyai struktur yang menyebabkan pecah-pecah menjadi blok-blok berbentuk prisma. Horizon terdalam berada di bawah horizon B adalah horizon C.
4. Horizon C Terdiri dari batuan dasar dari berbagai tingkat pelapukan. Oksida batuan dasar memberikan warna terang yaitu coklat kekuningkuningan. Tanah mempunyai jenis yang berbeda, diantaranya adalah pedocal dan laterit. Jenis tanah ini terdapat di daerah kering dan panas, padang rumput dan semak-semak. Dalam tanah pedocal tidak terjadi pelapukan kimia sehingga mineral lempung yang terkandung sedikit. Laterit merupakan tanah yang terdapat di daerah equator dan tropis, berwarna merah.

II. Tekstur Tanah
Tanah terdiri dari butir-butir tanah berbagai ukuran. Bagian tanah yang berukuran lebih dari 2 mm sampai lebih kecil dari pedon disebut fragmen batuan (rock fragment) atau bahan kasar (kerikil sampai batu). Tekstur tanah menunjukkan kasar halusnya tanah dari fraksi tanah halus (< 2 mm).
III. Struktur Tanah
Struktur tanah merupakan gumpalan kecil dari butir-butir tanah. Gumpalan struktur ini terjadi karena butir-butir pasir, debu dan liat terikat satu sama lain oleh suatu perekat seperti bahan organik, oksida-oksida besi, dan lain-lain. Gumpalan-gumpalan kecil ini mempunyai bentuk, ukuran, dan ketahanan yang berbeda-beda. Di daerah curah hujan tinggi umumnya ditemukan struktur remah atau granuler di permukaan dan gumpal
Zona labil merupakan suatu wilayah yang menunjukkan daerah itu mempunyai kondisi tanah yang terus bergeser, pergeseran tanah ini dapat terjadi karena longsor, peretakan tanah atau bisa juga daerah itu dilalui patahan bumi. Daerah yang rentan terhadap geseran tanah adalah daerah dekat atau sepanjang patahan. Kawasan permukiman (built-up areas), bendungan dan jembatan, jaringan jalan raya dan kereta api, tanah pertanian, dan sistem alur sungai. Daerah-daerah lingkungan endapan sungai, bekas pantai/zona pantai, tanah urugan dan bekas danau atau rawa merupakan daerah-daerah yang rentan terhadap kedua peristiwa alam tersebut. Akibat dari dua peristiwa alam tersebut dapat merusakan atau menghancurkan bangunan, meretakan bendungan, sistem irigasi, jaringan jalan, hilangnya tanah pertanian, memutuskan hubungan permukiman.
Geseran tanah yang sering terjadi adalah tanah longsor yang merupakan proses perpindahan massa tanah secara alami dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah. Longsoran umumnya terjadi jika tanah sudah tidak mampu menahan berat lapisan tanah di atasnya karena ada penambahan beban pada permukaan lereng dan berkurangnya daya ikat antarbutiran tanah akibat tidak ada pohon keras (berakar tunggang). Faktor pemicu utama kelongsoran tanah adalah air hujan. Tanah longsor banyak terjadi di perbukitan dengan ciri-ciri:
1. Kecuraman lereng lebih dari 30 derajat,
2. curah hujan tinggi, terdapat lapisan tebal (lebih dari 2 meter) menumpang di atas
tanah/batuan yang lebih keras,
3. tanah lereng terbuka yang dimanfaatkan sebagai permukiman, ladang, sawah atau
kolam (Suseno 2007: 16).
Dengan demikian, air hujan leluasa menggerus tanah dan masuk ke dalam tanah. Juga diperburuk dengan jenis tanaman di permukaan lereng yang kebanyakan berakar serabut dan hanya bisa mengikat tanah tidak terlalu dalam sehingga tidak mampu menahan gerakan tanah. Daerah dengan ciri seperti itu merupakan daerah rawan longsor. Jika suatu daerah termasuk kategori rawan longsor, kejadian longsor sering diawali dengan kejadian hujan lebat terus-menerus selama lima jam atau lebih atau hujan tidak lebat tetapi terus-menerus hingga beberapa hari, tanah retak di atas lereng yang selalu bertambah lebar dari waktu ke waktu, pepohonan di lereng terlihat miring ke arah lembah, banyak terdapat rembesan air pada tebing atau kaki tebing, terutama pada batas antara tanah dan batuan di bawahnya.
Selain merupakan daerah rawan longsor kawasan zona labil biasanya merupakan daerah yang di lalui oleh patahan bumi, daerah ini sangat labil karena kondisi tanah yang ada di sana terus bergerak, hal ini dipengaruhi oleh gerakan lempeng-lempeng bumi secara konvergen atau saling bertumbukan. Pergerakan kulit bumi yang berupa lempeng-lempeng tektonik itu muncul dalam wujud gelombang yang disebut gempa.
Pergerakan lempeng tektonik menciptakan kondisi terjepit atau terkunci dimana terjadi penimbunan energi dengan suatu jangka waktu tertentu yang untuk selanjutnya dilepaskan dalam bentuk gelombang gempa, energi gelombang gempa bumi akan dikonsentrasikan dan difokuskan jika gelombang gempa bumi melintas di jaur patahan, goncangan dari gempa bumi ini dapat menggeser posisi tanah baik ke arah lateral ataupun horizontal dan dapat pula pada arah vertikal sehingga terjadi amblesan di sekitar patahan itu
IV. proses-proses gerakan tanah meliputi:
1. Kegagalan lereng
Gaya gravitasi yang selalu menarik kebawah membuat lereng bukit dan gawir pegunungan rawan untuk runtuh. Slum adalah keruntuhan lereng dimana batuan atau regolith bergerak turun dan maju disertai gerak rotasional yang bergerak berlawanan dengan arah massa yang bergerak. kegagalan lereng secara mendadak yang mengakibatkan berpindahnya massa batuan yang relatif koheren dengan slumping, jatuh (falling), atau meluncur(sliding).
2. Falls dan Slides
Gerak pecahan batuan besar atau kecil yang terlepas dari batuan dasar dan jatuh bebas dinamakan rock fall. Biasanya terjadi pada tebing-tebing yang terjal, dimana material yang lepas tidak dapat tetap di tempatnya. Jika material yang bergerak masih agak koheren dan bergerak di atas permukaan suatu bidang disebut rock slides. Bidang luncurnya dapat berupa bidang rekahan, kekar atau bidang pelapisan yang sejajar dengan lereng.
3. Aliran (flow)
Aliran terjadi apabila material bergerak turun lereng sebagai cairan kental dengan cepat. Biasanya materialnya jenuh air. Yang sering terjadi adalah mud flow, aliran debris dengan banyak air dan partikel utamanya adalah partikel halus. Tipe gerak tanah ini terjadi di daerah dengan curah hujan tinggi seperti di Indonesia. aliran (flow) campuran sedimen, air, udara, dengan memperhatikan kecepatan dan konsentrasi sedimen yang mengalir.
4. Patahan
Patahan yaitu gerakan pada lapisan bumi yang sangat besar dan berlangsung yang dalam waktu yang sangat cepat, sehingga menyebabkan lapisan kulit bumi retak atau patah. Bagian muka bumi yang mengalami patahan seperti graben dan horst. Horst adalah tanah naik, terjadi bila terjadi pengangkatan. Graben adalah tanah turun, terjadi bila blok batuan mengalami penurunan. Ada beberapa jejak yang ditimbulkan oleh gesekan pada batuan diantaranya adalah gores garis atau slickensides, gesekan antara batuan yang keras, permukaannya menjadi halus dan licin disertai goresan-goresan pada bidang sesar.
Kebanyakan gerak sesar menghancurkan batuan yang bergesekan menjadi berbagai ukuran tidak beraturan, membentuk breksi sesar atau fault breccia
Berdasarkan pada klasifikasi Vernes dan Eckel dalam Ristianto (2007: 24) maka gerakan tanah terdapat tujuh jenis gerakan, yaitu soil fall, rock fall, sand run, debris slide, earth flow, debris avalance dan bloock glide, sedangkan gerakan terbanyak adalah jenis debris slide, merupakan 51,83% dari seluruh gerakan. Pada umumnya gerakan tanah terjadi pada daerah sekitar kontak ketidakselarasan antara satuan batu lempung dengan sisipan-sisipan batu pasir.
V. Penyebab Tanah Longsor
Pada prinsipnya tanah longsor terjadi bila gaya pendorong pada lereng lebih besar dari gaya penahan. Gaya penahan umumnya dipengaruhi oleh kekuatan batuan dan kepadatan tanah. Sedangkan gaya pendorong dipengaruhi oleh besarnya sudut kemiringan lereng, air, beban serta berat jenis tanah batuan.
Faktor penyebab terjadinya gerakan pada lereng juga tergantung pada kondisi batuan dan tanah penyusun lereng, struktur geologi, curah hujan, vegetasi penutup dan penggunaan lahan pada lereng tersebut, namun secara garis besar dapat dibedakan sebagai factor_alami_dan_manusia:
1. Faktor_alam
Kondisi alam yang menjadi faktor utama terjadinya longsor antara lain:
a. Kondisi geologi: batuan lapuk, kemiriringan lapisan, sisipan lapisan
batu lempung, struktur sesar dan kekar, gempa bumi, stratigrafi dan
gunung_api.
b. Iklim: curah hujan yang tinggi.
c. Keadaan topografi: lereng yang curam.
d. Keadaan tata air: kondisi drainase yang tersumbat, akumulasi massa air,
erosi dalam, pelarutan dan tekanan hidrostatika.
e. Tutupan lahan yang mengurangi tahan geser, misal tanah kritis.

2. Faktor manusia
Ulah manusia yang tidak bersabat dengan alam antara lain:
a. Pemotongan tebing pada penambangan batu dilereng yang terjal.
b. Penimbunan tanah urugan di daerah lereng.
c. Kegagalan struktur dinding penahan tanah.
d. Penggundulan hutan.
e. Budidaya kolam ikan diatas lereng.
f. Sistem pertanian yang tidak memperhatikan irigasi yang aman.
g. Pengembangan wilayah yang tidak diimbangi dengan kesadaran
masyarakat, sehingga RUTR tidak ditaati yang akhirnya merugikan
sendiri.
h. Sistem drainase daerah lereng yang tidak baik.

Peristiwa tanah longsor atau dikenal sebagai gerakan massa tanah, batuan atau kombinasinya, sering terjadi pada lereng­lereng alam atau buatan, dan sebenarnya merupakan fenomena alam, yaitu alarn mencari keseimbangan baru akibat adanya gangguan atau faktor yang mempengaruhinya dan menyebabkan terjadinya pengu­rangan kuat geser serta peningkatan tegangan geser tanah. Kontribusi pengurangan kuat geser tanah pada lereng alam yang mengalami longsor disebabkan oleh faktor yang dapat berasal dari alam itu sendiri, erat kaitannya dengan kondisi geologi antara lain jenis tanah, tekstur (komposisi) dari pada tanah pembentuk lereng sangat berpengaruh terjadinya longsoran.
Faktor lain yang berpengaruh adalah bertambah berat beban pada lereng dapat berasal dari alam itu sendiri, antara lain air hujan yang berinfiltrasi ke dalam tanah di bagian lereng yang terbuka (tanpa penutup vegetasi) menyebabkan kandungan air dalam tanah mening­kat, tanah menjadi jenuh, sehingga berat volume tanah bertambah dan beban pada lereng semakin berat. Pekerjaan timbunan di bagian lereng tanpa memperhitungkan beban lereng dapat menyebabkan lereng menjadi rawan longsor.
Pengaruh hujan dapat terjadi di bagian lereng­lereng yang terbuka akibat aktivitas mahluk hidup terutama berkaitan dengan budaya masyarakat saat ini dalam memanfaatkan alam berkait­an dengan pemanfaatan lahan (tata guna lahan), kurang memperhati­kan pola‑pola yang sudah ditetapkan oleh pernerintah. Penebangan hutan yang seharusnya tidak diperbolehkan tetap saja dilakukan, sehingga lahan‑lahan pada kondisi ler'eng dengan geomorphologi yang sangat miring, menjadi terbuka dan lereng menjadi rawan longsor. Kebiasaan masyarakat dalam mengembangkan pertanian/perkebunan tidak memperhatikan kemiringan lereng, pembukaan lahan‑lahan baru di lereng‑lereng bukit menyebabkan permukaan lereng terbuka tanpa pengaturan sistem tata air (drainase) yang seharusnya, dan bentuk­bentuk teras bangku pada lereng tersebut perlu dilakukan untuk mengerem laju erosi.
Bertambahnya penduduk menyebabkan perkem­bangan perumahan ke arah daerah perbukitan (lereng‑lereng bukit) yang tidak sesuai dengan peruntukan lahan (tata guna lahan), menimbulkan beban pada lereng (surcharge) semakin bertambah berat. Erosi di bagian kaki lereng akibat aliran sungai, atau gelombang air laut mengakibatkan lemahnya bagian kaki lereng, tedadinya kernbang susut material pembentuk lereng, dan lain‑lain menyebabkan terjadinya peningkatan tegangan geser.Pengaruh gempa juga menyebabkan kondisi lereng yang sebelumnya cukup stabil menjadi labil.
VI. Cara-cara pencegahan tanah longsor
Dari hasil analisis tersebut, apabila lereng dinyatakan labil, maka. diperlukan usaha untuk mengantisipasinya. Metode stabilitas lereng umumnya, mengurangi gaya yang melongsorkan atau menye­babkan lereng tanah tersebut longsor (bergerak turun) ke arah kaki lereng, memperbesar gaya perlawanan terhadap gaya yang melong­sorkan, atau kombinasi ke duanya. Secara umum metode stabilitas lereng ini dapat dilakukan secara fisis, mekanis, khemis, dan bio engineering dengan memperhatikan kondisi lereng yang labil, sehing­ga dapat ditentukan metode yang paling tepat.
Metode stabilitas lereng secara fisis merupakan metode yang paling sederhana, namun hasilnya dapat diandalkan. Usaha stabilisasi dengan membuat lereng lebih landai, sehingga lereng menjadi tidak curam, atau mengurangi beban di bagian atas lereng dengan memin­dahkan material di bagian puncak lereng ke kaki lereng, menempatkan konstruksi bahu lereng (benn) merupakan usaha untuk melandaikan lereng. Penempatan pratibobot (counterweight‑merupakan konstruksi timbunan batu atau tanah di bagian kaki lereng), memberikan hasil yang memuaskan, namun diperlukan ruangan (space) yang cukup luas, karena berkaitan dengan usaha galian dan timbunan. Teknik ini adalah mengurangi gaya yang melongsorkan akibat massa tanah yang bergerak turun atau menambah besamya perlawanan geser.
Usaha lain untuk membuat lereng tetap stabil dengan menem­patkan sistern drainase permukaan (surface drainage) atau bawah permukaan (sub surface drainage) yang mampu untuk mengevakuasi sebagian air terutama air hujan yang berinfiltrasi ke dalarn tanah, agar tanah/batuan pembentuk lereng tidak menjadi dalam kondisi jenuh air. Air hujan yang berinfiltrasi ke dalain tanah menyebabkan muka air tanah naik, sehingga memperbesar tekanan hidrostatis pada lereng tersebut. Selain itu, akibat tekanan rembesan dapat menimbulkan terjadinya peristiwa erosi buluh (piping) di bagian lereng, dan semakin lama semakin besar sesuai dengan perkembangan debit aliran rem­besan. Pada lereng‑lereng yang menunjukan gejala munculnya mata air rembesan di bagian kaki lereng setelah te~adi hujan, merupakan suatu indikasi bahwa lereng ini tidak mantab (labil). Berbagai bentuk drainase permukaan dapat berupa selokan atau parit drain, dan drainase bawah permukaan antara lain drain horisontal, lapisan drain, relief drain dan terowongan drain telah banyak digunakan, dan hasilnyapun dapat diandalkan (Suryolelono, 1993, 1999).
Cara mekanis dalarn usaha stabilisasi lereng dilakukan apabila ruangan yang tersedia sangat sempit, artinya bila cara fisis sangat sulit untuk diterapkan, barulah dilakukan dengan cara mekanis. Cara ini dengan menempatkdn konstruksi penahan tanah konvensional, atau metode baru yaitu perkuatan tanah (soil reinfoercement), pengang­keran tanah (soil nailling), namun keberhasilan konstruksi ini akan lebih baik, apabila didukung dengan sistern drainase permukaan maupun bawah permukaan, dan pada konstruksi penahan tanah itu sendiri. Kegagalan konstruksi penahan tanah konvensional yang te~adi di kota Semarang (Forum, Maret 2002; Kedaulatan Rakyat, 17, 18, 20, 23 Februari 2002), runtuhnya candi Selogriyo (Suryolelono, 1995b; 1996), karena buruknya sistern drainase pada. konstruksi penahan tanah, dan sistern drainase di sekitar konstruksi itu. Cara lain untuk mengantisipasi gerakan tanah ini dengan memancang tiang atau turap (sheet pile) di bagian lereng yang longsor, namun tiang atau turap harus cukup panjang dan melewati bidang longsor, sehingga efektif untuk menghambat turunnya material tanah yang longsor.
Metode stabilisasi dengan cara khemis merupakan usaha mencampur bahan tanah dengan semen (soil cement‑shotcrete), atau bahan kapur, abu sekarn padi (ASP‑abu sekarn padi‑RHA‑rice husk ash) (Suryolelono & Fathani, 2000), abu terbang (fly ash), sementasi (grouting) untuk meningkatkan kuat geser tanah, namun pemanfaatan bahan kimia ini perlu dipertimbangkan pengaruhnya terhadap lingkungan.
Bio engineering merupakan suatu usaha stabilisasi lereng dengan menutup lereng‑lereng yang terbuka dengan tanaman. Tujuan dari usaha ini, agar air hujan sebagai pemicu gerakan lereng dapat ditahan sementara, atau tidak segera infiltrasi ke ' dalarn tanah, namun metode ini membutuhkan waktu lama. Umumnya metode ini diguna­kan apabila lereng diindentifikasi rawan terhadap erosi dan berakibat lanjut lereng longsor. Jenis tanaman yang direkomendasi oleh Bank Dunia seperti jati, akasia, johar, pinus mahoni, kemiri, damar dan lain­lain, perlu disesuaikan dengan kondisi lereng setempat dan atas saran­saran dari para ahli di bidang yang berkaitan. Mengurangi atau meng­hindari pembangunan teras bangku di lereng‑lereng rawan longsor tanpa dilengkapi dengan saluran pembuangan air (SPA) dan saluran drainase bawah permukaan tanah untuk menurunkan muka air tanah, mengurangi intensifikasi pengolahan tanah di daerah rawan longsor (Soedjoko, 2000) merupakan salah satu usaha stabilisasi lereng rawan longsor. Umumnya usaha penanggulangan kelongsoran lereng yang digunakan merupakan kombinasi baik cara fisis, mekanis, khemis atau bio engineering, untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
VII. Hal – Hal Yang di Lakukan Selama dan sesudah Terjadi Bencana
1. Tanggap Darurat
Yang harus dilakukan dalam tahap tanggap darurat adalah penyelamatan dan pertolongan korban secepatnya supaya korban tidak bertambah. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan,
2. Rehabilitasi
Upaya pemulihan korban dan prasarananya, meliputi kondisi sosial, ekonomi, dan sarana transportasi. Selain itu dikaji juga perkembangan tanah longsor dan teknik pengendaliannya supaya tanah longsor tidak berkembang dan penentuan relokasi korban tanah longsor bila tanah longsor sulit dikendalikan.
3. Rekonstruksi
Penguatan bangunan-bangunan infrastruktur di daerah rawan longsor tidak menjadi pertimbangan utama untuk mitigasi kerusakan yang disebabkan oleh tanah longsor, karena kerentanan untuk bangunan-bangunan yang dibangun pada jalur tanah longsor hampir 100%.
BAB III
PENUTUP
I. KESIMPULAN
Tanah longsor adalah perpindahan material pembentuk lereng berupa batuan, bahan rombakan, tanah, atau material campuran tersebut, bergerak ke bawah atau keluar lereng.
Faktor penyebab terjadinya gerakan pada lereng ( tanah longsor) juga tergantung pada kondisi batuan dan tanah penyusun lereng, struktur geologi, curah hujan, vegetasi penutup dan penggunaan lahan pada lereng tersebut, namun secara garis besar dapat dibedakan sebagai factor alami dan manusia.
II. SARAN
Terjadinya bencana alam tanah longsor ini dapat diminimalkan dengan memberdayakan masyarakat untuk mengenali tipologi lereng yang rawan longsor, gejala awal longsor, serta upaya antisipasi dini yang harus dilakukan, sehingga pengembangan dan penyempurnaan manajemen mitigasi gerakan tanah baik dalam skala nasional, regional maupun lokal secara berkelanjutan dengan memanfaatkan perkembangan teknologi informasi dan menggalang kebersamaan segenap lapisan masyarakat
DAFTAR PUSTAKA
Asian Development Bank, Climate Change in Asia ; Indonesia Country Report on Socio-economic Impacts of Climate Change and a National Response Strategy, Regional Study on Global Environmental Issues, July 1994
Diposaptono S., Pengaruh Pemanasan Global terhadap Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia, Direktorat Bina Pesisir – Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil - DKP, 2002.
Dirjen Penataan Ruang – Depkimpraswil, Antisipasi Dampak Pemanasan Global dari Aspek Teknis Penataan Ruang, Makalah pada Seminar Nasional tentang Pengaruh Global Warming terhadap Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Ditinjau dari Kenaikan Permukaan Air Laut dan Banjir, BKTRN, Jakarta, 30 – 31 Oktober 2002
Ditjen Penataan Ruang – Depkimpraswil, Review Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional : Kebijakan Spasial untuk Pengembangan Kemaritiman Indonesia, Bahan Sosialisasi RTRWN dalam rangka Roadshow dengan Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta, 11 Oktober 2002.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar