Rabu, 04 Januari 2012

pencegahan bencana banjir













I.    Pendahuluan

1.        Perkembangan pemanfaatan ruang pada satuan-satuan wilayah sungai di Indonesia telah berada pada kondisi yang mengkhawatirkan seiring dengan meluasnya bencana yang terjadi – khususnya banjir dan longsor – yang dengan sendirinya mengancam keberlanjutan pembangunan nasional jangka panjang. Dari keseluruhan 89 SWS yang ada di Indonesia, hingga tahun 1984 saja telah terdapat 22 SWS berada dalam kondisi kritis[2]. Pada tahun 1992, kondisi ini semakin meluas hingga menjadi 39 SWS. Perkembangan yang buruk terus meluas hingga tahun 1998, dimana 59 SWS di Indonesia telah berada dalam kondisi kritis, termasuk hampir seluruh SWS di Pulau Jawa. Seluruh SWS kritis tersebut selain mendatangkan bencana banjir besar pada musim hujan, juga sebaliknya menyebabkan kekeringan yang parah pada musim kemarau.
2.        Berbagai fenomena bencana – khususnya banjir dan longsor – yang terjadi secara merata di berbagai wilayah di Indonesia pada awal tahun 2002 dan 2003 ini, pada dasarnya, merupakan indikasi yang kuat terjadinya ketidakselarasan dalam pemanfaatan ruang, yakni : antara  manusia dengan kepentingan ekonominya dan alam dengan kelestarian lingkungannya.
3.        Penyebab terjadinya bencana banjir dan longsor sendiri secara umum dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) hal, yakni : (1) kondisi alam yang bersifat statis, seperti kondisi geografi, topografi, dan karakteristik sungai, (2) peristiwa alam yang bersifat dinamis, seperti : perubahan iklim (pemanasan) global, pasang – surut, land subsidence, sedimentasi, dan sebagainya, serta (3) aktivitas sosial-ekonomi manusia yang sangat dinamis, seperti deforestasi (penggundulan hutan), konversi lahan pada kawasan lindung, pemanfaatan sempadan sungai/saluran untuk permukiman, pemanfaatan wilayah retensi banjir, perilaku masyarakat, keterbatasan prasarana dan sarana pengendali banjir dan sebagainya.
4.        Pada era otonomi daerah dewasa ini, inisiatif untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat cenderung diselenggarakan untuk memenuhi tujuan jangka pendek, tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan jangka panjang. Konversi lahan dari kawasan lindung – yang berfungsi menjaga keseimbangan tata air – menjadi kawasan budidaya (lahan usaha) guna meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan praktek pembangunan yang kerap terjadi, seperti di kawasan Bopunjur yang telah diatur melalui Keppres 114/1999.
5.        Pemanasan global (global warming) merupakan aspek yang perlu mendapatkan perhatian besar karena akan mempengaruhi peningkatan frekuensi dan intensitas banjir dengan pola hujan yang acak dan musim hujan yang pendek sementara curah hujan sangat tinggi (kejadian ekstrim). Frekuensi dan intensitas banjir diprediksikan terjadi 9 kali lebih besar pada dekade mendatang dimana 80% peningkatan banjir tersebut terjadi di Asia Selatan dan Tenggara (termasuk Indonesia) dengan luas genangan banjir mencapai 2 juta mil persegi.[3] Peningkatan volume air pada kawasan pesisir akan memberikan efek akumulatif apabila kenaikan muka air laut serta peningkatan frekuensi dan intensitas hujan terjadi dalam kurun waktu yang bersamaan.
6.        Bencana banjir dan longsor yang terjadi belakangan ini telah menimbulkan korban jiwa dan kerugian harta benda yang besar, disamping itu menyisakan pula berbagai permasalahan, seperti : (1) menurunnya tingkat kesehatan masyarakat akibat penyebaran wabah penyakit menular (waterborne diseases) ; (2) munculnya berbagai kerawanan sosial ; dan (3) menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat
7.        Sementara pada jangka panjang, gangguan terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang terjadi akibat banjir dan kenaikan muka air laut diantaranya adalah : (a)  gangguan terhadap jaringan jalan lintas dan kereta api di Pantura Jawa dan Timur-Selatan Sumatera ; (b) genangan terhadap permukiman penduduk pada kota-kota pesisir Pantura Jawa, seperti : Jakarta, Cirebon, dan Semarang ; (c) hilangnya lahan-lahan budidaya seperti sawah, payau, kolam ikan, dan mangrove seluas 3,4 juta hektar atau setara dengan US$ 11,307 juta ; gambaran ini bahkan menjadi lebih ‘buram’ apabila dikaitkan dengan keberadaan sentra-sentra produksi pangan di Pulau Jawa yang menghasilkan ± 63% dari produksi pangan nasional yang terus dikonversi,[4] dan (d) penurunan produktivitas lahan pada sentra-sentra pangan, seperti di DAS Citarum, Brantas, dan Saddang yang sangat krusial bagi kelangsungan swasembada pangan di Indonesia.[5]
8.        Dalam rangka mewujudkan pembangunan berkelanjutan serta menghindari terjadinya dampak bencana yang lebih luas dan serius pada masa mendatang, maka prinsip-prinsip penataan ruang yaitu harmonisasi fungsi ruang untuk lindung dan budidaya sebagai satu kesatuan ekosistem, tidak dapat diabaikan lagi. Dalam konteks ini upaya pengendalian pembangunan dan dampaknya perlu diselenggarakan secara terpadu lintas sektor dan lintas wilayah melalui instrumen penataan ruang dengan memperhatikan daya dukung lingkungan wilayah tersebut.

II.   Penataan Ruang sebagai Landasan Keterpaduan Pembangunan Lintas Sektor dan Lintas Wilayah

9.        Berdasarkan UU No.24/1992, pengertian penataan ruang tidak terbatas pada proses perencanaan tata ruang saja, namun lebih dari itu termasuk proses pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang dibedakan atas hirarki rencana yang meliputi : Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional, Propinsi, Kabupaten dan Kota, serta rencana-rencana yang sifatnya lebih rinci ; pemanfaatan ruang merupakan wujud operasionaliasi rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan; dan pengendalian pemanfaatan ruang terdiri atas mekanisme perizinan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan RTRW-nya. Selain merupakan proses, penataan ruang sekaligus juga merupakan instrumen yang memiliki landasan hukum untuk mewujudkan sasaran pengembangan wilayah.
10.    Aspek teknis penataan ruang dibedakan berdasarkan hirarki rencana. RTRWN merupakan perencanaan makro strategis jangka panjang dengan horizon waktu hingga 25 – 50 tahun ke depan dengan menggunakan skala ketelitian 1 : 1,000,000. RTRW Pulau pada dasarnya merupakan instrumen operasionalisasi dari RTRWN. RTRW Propinsi merupakan perencanaan makro strategis jangka menengah dengan horizon waktu 15 tahun pada skala ketelitian 1 : 250,000. Sementara, RTRW Kabupaten dan Kota merupakan perencanaan mikro operasional jangka menengah (5-10 tahun) dengan skala ketelitian 1 : 20,000 hingga 100,000, yang kemudian diikuti dengan rencana-rencana rinci yang bersifat mikro-operasional jangka pendek dengan skala ketelitian dibawah  1 : 5,000.
11.    Rencana tata ruang pada dasarnya merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar interaksi manusia/makhluk hidup dengan lingkungannya dapat berjalan serasi, selaras, seimbang untuk tercapainya kesejahteraan manusia/makhluk hidup serta kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan (development sustainability).
12.    Kerangka keterpaduan pembangunan melalui pendekatan penataan ruang diselenggarakan berdasarkan prinsip-prinsip sinergi pembangunan dan kemanfaatan bersama (complementary benefit) yang mengedepankan kepentingan wilayah atau kawasan yang lebih luas – melebihi batas-batas administrasi. Kerangka keterpaduan tersebut diselenggarakan dengan pendekatan penataan ruang pulau yang merupakan alat optimasi pemanfaatan sumber daya alam dan buatan (prasarana) secara kolektif dalam rangka mewujudkan tujuan pengembangan wilayah pulau – sebagai kesatuan ekosistem,  sekaligus meminimalkan potensi konflik yang mungkin terjadi.

III. Kebijakan dan Strategi Nasional mengenai Pengendalian Bencana Banjir.

13.    Kebijakan nasional terpadu mengenai pengendalian bencana, khususnya penanganan banjir, di bidang permukiman dan prasarana wilayah dikelompokkan menjadi 5 (lima) aspek, yakni : (1) penataan ruang, (2) pengembangan sumber daya air, (3) pengembangan prasarana perkotaan, (4) pengembangan perumahan dan permukiman, dan (5) peningkatan pelayanan pada masyarakat.
14.    Khusus untuk aspek penataan ruang, mengingat karakteristiknya yang terkait  erat dengan ekosistem, maka upaya penataan ruang harus didekati secara sistemik tanpa dibatasi oleh batas-batas kewilayahan dan sektor. Untuk itu dalam rangka penanganan banjir, ada 4 (empat) prinsip pokok penataan ruang  yang perlu dipertimbangkan yakni : (a) holistik dan terpadu, (b)  keseimbangan kawasan hulu dan hilir, (c) keterpaduan penanganan secara lintas sektor dan lintas wilayah – dengan skala propinsi untuk keterpaduan lintas Kabupaten/Kota dan skala pulau untuk keterpaduan lintas propinsi, serta (d) pelibatan peran serta masyarakat mulai tahap perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang.
15.    Berdasarkan prinsip-prinsip penataan ruang diatas, maka kebijakan pokok penataan ruang dalam rangka pencegahan bencana meliputi :
a.             revitalisasi perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang, termasuk review terhadap RTRW Nasional (PP No.47/1997), RTRW Pulau, serta RTRW kawasan-kawasan strategis nasional, seperti Jabodetabek dan Bopunjur.
b.             penyiapan norma, standar, pedoman, prosedur dan manual (NSPM), dalam rangka mendukung kebijakan percepatan otonomi daerah khususnya yang terkait dengan aspek pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang (pengelolaan sumber daya alam).
c.              pelaksanaan public awareness campaign dalam rangka peningkatan peranserta masyarakat dalam perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang, termasuk melalui upaya sosialisasi dan diseminasi produk-produk pengaturan tata ruang. 
16.    Selanjutnya dalam rangka operasionalisasi kebijakan nasional penataan ruang diatas, diperlukan strategi pendayagunaan penataan ruang yang senada dengan semangat otonomi daerah yang disusun dengan memperhatikan faktor-faktor  berikut :
a.         Keterpaduan yang bersifat lintas sektoral dan lintas wilayah dalam konteks pengendalian dan penanganan bencana banjir yang konsisten dengan rencana tata ruang wilayah-nya.
b.         Pendekatan bottom-up planning yang mengedepankan peranserta masyarakat (participatory planning process) dalam pelaksanaan penataan ruang yang transparan dan accountable agar lebih akomodatif terhadap berbagai inisiatif, masukan, dan aspirasi seluruh stakeholders dalam pelaksanaan pembangunan.
c.         Kerjasama antar wilayah (antar propinsi, kabupaten maupun kota-kota, antara kawasan perkotaan dengan perdesaan, serta antara kawasan hulu dan hilir) sehingga tercipta sinergi pembangunan dengan memperhatikan potensi dan keunggulan wilayah, sekaligus reduksi potensi konflik lintas wilayah
d.        Penegakan hukum yang konsisten dan konsekuen – baik PP, Keppres, maupun Perda - untuk menghindari kepentingan sepihak dan untuk terlaksananya role sharing yang ‘seimbang’ antar unsur-unsur stakeholders.


III. Pendekatan Penataan Ruang Pulau Jawa : Landasan Keterpaduan Pembangunan Lintas Sektor dan Lintas Wilayah 

17.    Wilayah Pulau Jawa merupakan wilayah yang mengalami dampak paling parah akibat bencana banjir dan longsor yang terjadi pada tahun 2002 yang baru lalu. Dari hasil investigasi yang dilakukan, bencana alam di Pulau Jawa mencakup hampir seluruh wilayah, yakni DKI Jakarta, Ciamis, Subang, Bogor, Karawang dan Majalengka (Jabar), Kota dan Kabupaten Tangerang (Banten), Jalur pantura ( Brebes, Pemalang, Kendal, Semarang), Kebumen, Cilacap, Pati dan Kudus (Jateng), Lumajang, Banyuwangi, Bojonegoro, pacitan, Tulungagung, Trenggalek, Surabaya, Malang, Nganjuk, pasuruan, Gresik, Lamongan, Situbondo dan Bondowoso (Jatim). Secara fisik bencana tersebut juga telah mengakibatkan hampir 37.970 Ha kawasan permukiman tergenang dan 42.844 Ha sawah tergenang. Dampak ini menjadi kelihatan lebih serius apabila biaya-biaya sosial (opportunity cost) dan korban jiwa juga diperhitungkan.
18.    Salah satu faktor signifikan penyebab bencana yang hampir merata tersebut adalah buruknya kondisi SWS di wilayah Pulau  Jawa. Dari total 22 SWS yang ada di Pulau Jawa, pada tahun 1984 jumlah SWS kritis adalah 12 SWS. pada tahun 1992 meningkat menjadi 14 SWS dan pada tahun 1998 terus meluas hingga berjumlah 20 SWS dinyatakan kritis. Diantara SWS yang kritis tersebut adalah : SWS Ciliwung-Cisadane,  SWS Ciujung - Ciliman, SWS Citarum, SWS Citanduy -Ciwulan, SWS Pemali-Comal, SWS Serayu, SWS Jratun Seluna, SWS Progo-Opak-Oyo, SWS Bengawan Solo, SWS Kali Brantas, SWS Pekalen-Sampean, dan SWS Madura.
19.    Dari sudut pandang secara spasial, buruknya kondisi SWS ini merupakan konsekuensi diabaikannya prinsip dasar penataan ruang yakni harmonisasi fungsi ruang untuk lindung dan budidaya. Pesatnya kegiatan pembangunan di Pulau Jawa dewasa ini telah mendorong terjadinya alih fungsi ruang dari kawasan lindung menjadi kawasan budidaya. Berdasarkan data periode 1992-1999 telah terjadi kerusakan kawasan hutan lindung (non-convertible forest) seluas 132.000 ha  atau dengan laju kerusakan sekitar 19.000 ha/tahun. Dengan kondisi ini pada tahun 1999, luasan hutan lindung tersebut adalah 24.3 % dari seluruh wilayah Pulau Jawa - kurang dari ketentuan minimal 30%[6]. Disamping itu, alih fungsi yang juga turut memperparah adalah terjadinya konversi lahan sawah menjadi kawasan-kawasan industri dan permukiman.  Data selama 20 tahun terakhir (1979-1999) menunjukan bahwa konversi lahan sawah menjadi fungsi-fungsi lain (terutama perkotaan dan industri) di Jawa mencapai sebesar 1,002,005 ha atau sebesar 50,100 ha/tahun[7]. Kondisi ini pada gilirannya memberikan tekanan yang serius pada daya dukung lingkungan seperti fungsi hidrologis dan fungsi lindung terhadap tanah, air, udara flora dan fauna
20.    Di lain pihak, Pulau Jawa merupakan salah satu wilayah yang memiliki peran strategis bagi perkembangan perekonomian nasional. Beberapa kondisi obyektif menunjukan bahwa:
·         Pulau Jawa sebagai tulang punggung perekonomian nasional yang ditunjukan beberapa data dan informasi sebagai berikut: (i) kontribusi PDRB terhadap nasional mencapai 56,1 % pada tahun 1999. (ii) proporsi investasi PMA 63,25 % dan PMDN sebesar 49,58 % (1967-2000).
·         Pulau Jawa sebagai sentra kegiatan pertanian tanaman pangan yang ditunjukkan dari keberadaan 125 sentra tersebut dari keseluruhan 239 sentra pangan nasional dengan share produksinya mencapai hampir 63 %nya dari total produksi pangan nasional[8].

·         Pulau Jawa sebagai konsentrasi pusat permukiman dan kegiatan industri-jasa   yang ditunjukan dari (i) jumlah penduduk pada tahun 2000 sebesar 120,4 juta jiwa atau 59,19 % dari penduduk nasional dengan kepadatan 945 jiwa/km2 jauh diatas rata-rata nasional (106 jiwa/km2). (iii) tingkat urbanisasi yang tinggi sebesar 34,6 % pada tahun 2000 yang berdampak pada perluasan kawasan perkotaan (iv) keberadaan kota-kota metropolitan, seperti Jabodetabek, Gerbang Kertosusilo, Bandung, yang strategis sebagai “engine of growth” ekonomi nasional dimana rata-rata jumlah penduduknya  di atas 1 juta jiwa (v) tersebarnya kawasan-kawasan industri di Serang, Pandeglang, Tangerang, Semarang, Malang, Pasuruan dsb.
·         Pulau Jawa merupakan konsentrasi sentra-sentra produksi pertanian tanaman pangan, industri, pertambangan dan permukiman yang tersebar di  22 kawasan andalan darat dan 4 kawasan andalan laut.
21.    Mengingat strategisnya peran Pulau Jawa, maka diperlukan upaya untuk mengembalikan kondisi Satuan Wilayah Sungai yang penting dalam mendukung penyedian air baku untuk kegiatan perkotaan, pertanian tanaman pangan dan kegiatan industri, secara bertahap dan berkesinambungan. Dalam hal ini instrumen penataan ruang merupakan landasan koordinasi pembangunan yang mengatur intensitas kegiatan yang memanfaatkan ruang dan mengendalikan konflik antar kegiatan, dalam satu kesatuan ekosistem wilayah sungai.
22.    Oleh karena itu, penataan ruang wilayah di Pulau Jawa dalam rangka pengendalian pembangunan semakin mendesak untuk dilakukan. Bahkan, dalam rapat BKTRN yang dipimpin langsung oleh Menko Perekonomian pada tanggal 12 Juli 2002 telah direkomendasikan perlunya dikeluarkan suatu Instruksi Presiden (INPRES) dalam rangka Penanganan Khusus Pengendalian Pembangunan di Pulau Jawa melalui Penataan Ruang yang saat ini sedang diproses untuk dimasukkan kedalam Keppres 62/2000 mengenai Koordinasi Penataan Ruang Nasional yang dipertajam.
23.    Disamping dimaksudkan untuk mengembalikan harmonisasi fungsi ruang secara berkelanjutan, upaya penataan ruang wilayah Pulau Jawa diharapkan dapat menjadi landasan koordinasi pembangunan, yang mengedepankan kepentingan wilayah atau kawasan yang lebih luas – melebihi skala propinsi - melalui pelaksanaan prinsip-prinsip sinergi pembangunan dan kemanfaatan bersama (complementary benefit). Dengan demikian, sinergi antar wilayah, antar sektor dan antar pelaku pembangunan dapat diwujudkan sehingga dapat memberikan hasil-hasil yang efektif bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat (quality of life) dan lingkungan secara luas.
24.    Upaya penataan ruang wilayah pulau Jawa dalam upaya mengendalikan pembangunan, baik untuk keseimbangan antarwilayah, keseimbangan perkotaan dan perdesaan, maupun keseimbangan kawasan lindung dan budidaya perlu memperhatikan beberapa isu strategis, antara lain:
·         Adanya kesenjangan antara wilayah utara dan selatan Jawa yang ditunjukan dari perbandingan share PDRB kabupaten/kota di wilayah utara dan selatan terhadap total PDRB Jawa adalah 88,63 % dibandingkan 11,37 %.
·         Adanya kesenjangan antara wilayah Jawa bagian Timur (Jawa Timur) dan bagian barat (Jabar dan Banten) dengan wilayah bagian tengah (Jateng dan DIY) yang ditunjukan dari kontribusi PDRB dan realisasi investasi PMA & PMDN bagian barat-timur terhadap total Jawa berturut-turut : PDRB - 36 % dan 27 %, PMA: rata-rata 41 % dan 8,41 %, sementara Jateng dan DIY sebesar kurang lebih 27 %
·         Adanya perkembangan kota secara ekspansif (conurbation) mengikuti jaringan jalan menuju kawasan perkotaan lainnya sehingga batas-batas fisik antara kedua kota tersebut menjadi kabur, seperti sepanjang koridor Serang-Tangerang-Jakarta-Bogor, Cirebon-Indramayu-Kuningan
25.    Dengan memperhatikan kondisi objektif tersebut, maka keberadaan RTRW Pulau Jawa menjadi sangat penting. Secara garis besar muatan RTRW Pulau Jawa mencakup: (i) arahan pola dan struktur pemanfaatan ruang nasional di Pulau Jawa (ii) Kesepakatan Strategi Perwujudan Pola dan Struktur Pemanfaatan Ruang Nasional di Jawa dan (iii) kesepakatan indikasi program pembangunan yang bersifat lintas wilayah dan sektor, seperti program pengembangan kawasan, pengembangan prasarana lintas wilayah propinsi.
26.    Rumusan RTRW Pulau Jawa yang saat ini tengah disusun dapat memberikan arahan Kebijaksanaan Pemanfaatan Ruang, sebagai berikut :
a.         Menetapkan secara definitip kawasan fungsi lindung dan mengoptimalkan pemanfaatan ruangnya sesuai fungsi kawasan lindung dengan antara lain meningkatkan fungsi lindung terutama hutan, tanah, air, flora, dan fauna pada kawasan-kawasan yang ditetapkan untuk itu
b.         Mendukung perkembangan pembangunan kawasan budidaya, yaitu dengan meningkatkan fungsi budidaya di bidang pertanian dan permukiman, industri terbatas yang tidak menguras dan mencemari air dan udara, ekowisata, serta pengembangan wilayah pesisir dan kelautan
c.         Menyeimbangkan  pembangunan dalam rangka pengembangan antar wilayah baik di Pulau Jawa dengan di luar Pulau Jawa,  di kawasan Utara dengan kawasan Selatan Pulau Jawa
27.    Selain itu, RTRW Pulau Jawa juga memuat strategi pemanfaatan ruang yang mencakup:
a.         Pemulihan dan pemeliharaan kawasan berfungsi lindung melalui pengembangan instrument insteif dan disinsentif serta mekanisme kelembagaan secara lintas wilayah
b.         Pengembangan industri dan perkotaan (permukiman) dengan perhatian khusus pada ketersediaan air baku, hemat ruang serta dengan tetap memperhatikan keterkaitan antara kegiatan yang saling mendukung serta mencegah dampak negatif yang dapat terjadi terhadap kelestarian fungsi lingkungan 
c.         Pengembangan kawasan andalan nasional yang merata antara bagian Utara dan Selatan, yaitu secara berturut-turut 15 dan 11 kawasan andalan
d.        Pemeliharaan zona hulu sungai melalui kegiatan-kegiatan pelestarian kawasan, pengamanan kawasan penyangga, pelestarian dan pengamanan sumber air, pencegahan erosi dan pencegahan pencemaran air
e.         Pemanfaatan sumber daya air secara ketat sesuai kebutuhan air yang didasarkan pada perkembangan sosial ekonomi dari kegiatan budidaya, industri dan permukiman dalam suatu wilayah
f.          Pemanfaatan sumberdaya air dengan tetap menjaga keseimbangan tata air untuk menjaga kondisi sungai dari kekritisan.

 

IV. Pendekatan Penataan Ruang pada Kasus Pengendalian Bencana Banjir di Kawasan Jabodetabek – Bopunjur

28.    Bencana banjir dan longsor yang menimpa kawasan Jabodetabek pada awal tahun 2002 silam, merupakan salah satu fakta yang menarik untuk memperlihatkan terjadinya konflik dan ketidakserasian pemanfaatan ruang, khususnya antara pemanfaatan kawasan permukiman perkotaan dan kawasan lindung. Data menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan penggunaan lahan di Jabodetabek sebesar 10% untuk permukiman antara tahun 1992 hingga 2001. Pada kurun waktu yang sama, juga terjadi pengurangan luasan kawasan lindung hingga 16%. Secara keseluruhan terjadi penyimpangan sebesar 20% terhadap arahan penggunaan lahan pada RTR Kawasan Jabodetabek.[9]  (Periksa Tabel 1)
 





Tabel 1
Pola Pemanfaatan Ruang Kawasan Jabodetabek
Kode Zona
Nama Zoning
Luas Zona (ha)
Arahan Pemanfaatan/Pengendalian
N1
Lindung (4,32%)
29.261,20
a.     Tidak diperkenankan bagi kegiatan budidaya
b.     Difungsikan sebagai kws. Pengaman elemen-elemen geografi dan ekosistem
c.      Kegiatan budidaya yang telah terlanjur dalam jangka panjang harus dikeluarkan dari zona ini
d.     Hutan lindung
e.     Hutan wisata
f.       Hutan riset
g.     Hutan suaka margasatwa
h.     Taman nasional laut
N2
Suaka Alam/ Budaya/Sejarah (2,66%)
18.025,25
a.     Tidak diperkenankan bagi kegiatan budidaya
b.     Hutan, sempadan sungai, danau, laut dan lereng terjal
c.      Hutan perlindungan badan air
d.     Pertanian terbatas tanaman keras (tahunan) dengan jenis komoditas yang sesuai dengan fungsi pengaman
e.     Kawasan preservasi dan konservasi
B-1
Budidaya-1 (19,64%)
132.886,30
a.      Perumahan hunian padat (perkotaan)
b.      Perdagangan dan jasa
c.       Industri ringan non-polutan dan berorientasi pasar
B-2
Budidaya-2 (15,15%)
102.513,50
a.      Perumahan hunian rendah (perdesaan)
b.      Pertanian/ladang
c.       Industri berientasi tenaga kerja
B-3
Budidaya-3  (6,11%)
41.370,60
a.      Perumahan hunian rendah
b.      Pertanian/ladang
B-4
Budidaya-4 (41,85%)
283.242,10
a.     Perumahan hunian rendah
b.     Pertanian lahan basah/kering
c.      Perkebunan, perikanan, peternakan, agroindustri
B-5
Budidaya-5 (10,27%)
69.480,50
a.   Pertanian lahan basah (irigasi teknis)
Sumber : Rancangan Keppres RTR Kawasan Jabodetabek, 2001


29.    Sementara untuk kawasan Bopunjur yang merupakan hulu (up-stream) dari kawasan Jabodetabek, berdasarkan informasi citra landsat tahun 2001 telah terjadi penyimpangan pemanfaatan lahan sebesar 79,5% dari arahan yang ditetapkan dalam Keppres No.114/1999. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan kawasan permukiman/perkotaan yang cukup pesat dengan luas mencapai 35,000 ha atau 29% dari total luasan kawasan Bopunjur (Periksa Tabel 2). Bentuk-bentuk penyimpangan lainnya diantaranya adalah : (a) pemanfaatan ruang yang tidak sesuai untuk permukiman pada sepanjang bantaran sungai-sungai, dan (b) pemanfaatan ruang untuk permukiman pada wilayah retensi air, seperti rawa-rawa dan lahan basah. (Periksa Tabel 2).

Tabel 2

Perubahan Penggunaan Lahan di Kawasan Bogor – Puncak – Cianjur (Bopunjur) dibandingkan dengan Keppres No.114/1999
No
Jenis Penggunaan
Tahun 1993
Tahun 1997
Keppres No.114/1999
(ha)
%
(ha)
%
(ha)
%
1
Kawasan Perkotaan
16.985
14,03
20.500
16,93
19.500
16,12
2
Kawasan Lahan Basah/Sawah
20.448
16,89
18.500
15,28
18.600
15,37
3
Kawasan Hutan Lindung
12.308
10,16
15.000
12,39
19.475
16,10
4
Cagar Alam
550
0,45
550
0,45
550
0,45
5
Taman Nasional
3500
2,89
3500
2,89
3500
2,89
6
Taman Wisata Alam
450
0,37
450
0,37
450
0,37
7
Kawasan Lainnya
66.854
55,21
62.595
51,69
59.020
48,70

Total Penggunaan Lahan

121.095
100,00
121.095
100,00
121.095
100,00
Sumber :    Strategi Pengembangan Kawasan Bopunjur dan sekitarnya, 1996/1997
                   Peta Penggunaan Tanah, 1997

          Lampiran Keppres No.114/1999


30.    Beberapa penyebab terjadinya penyimpangan terhadap rencana tata ruang pada kasus banjir dan longsor di Kawasan Jabodetabek dan Bopunjur diantaranya adalah : (a) lemahnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya penataan ruang,  (b) lemahnya kemampuan pengawasan dan pengendalian pembangunan, baik oleh Pemerintah maupun oleh masyarakat, (c) lemahnya penegakan hukum, serta (d) belum terciptanya semangat dan mekanisme kerjasama lintas wilayah dalam pembangunan yang sinergis.
31.    Sebagai pencegahan terhadap terjadinya bencana banjir dan longsor di kawasan Jabodetabek dan Bopunjur,  maka ditempuh upaya penanganan (preventive measures) bencana banjir dengan memperhatikan kondisi eksisting, yang secara garis besar meliputi :
a.         Inventarisasi alih fungsi lahan dengan mengungkapkan Fakta dan kecenderungan nya melalui Remote Sensing (92-01), Geologi Tata Lingkungan, dan Monitoring Pemanfaatan Ruang di Daerah
b.         Kaji ulang produk-produk rencana tata ruang dan pemanfaatan ruang-nya terutama di kawasan resapan,  retarding basin, rawan banjir, water level, interusi air laut, gerakan tanah dsb, seperti misalnya : Evaluasi dan sinkronisasi rencana induk SWS Ciliwung – Cisadane terhadap RTRW Kawasan Jabodetabek – Punjur.
c.         Pemantapan  landasan hukum dalam penataan ruang kawasan, seperti : legalisasi Keppres Jabodetabek – Punjur, termasuk pemantapan mekanisme kelembagaannya seperti pembentukan forum-forum masyarakat peduli penataan ruang dan banjir.
d.        Pemantapan proses dan prosedur  pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang melalui Penyusunan Pedoman Teknis (seperti Perizinan pemanfaatan ruang pada kawasan banjir, lindung dan budidaya, serta Mekanisme pengendalian pemanfaatan ruang antara pemerintah pusat, daerah dan masyarakat),
e.         Pemantapan sistem monitoring dan pengawasan penataan ruang, seperti : pengembangan sistem informasi dan pemantauan perkembangan penggunaan lahan kawasan Jabodetabek – Punjur, penyediaan peta-peta tematik terkait dengan peantaan ruang dan banjir (misal peta flood risk dengan skala 1 : 25.000, peta citra liputan lahan, peta geologi lingkungan, dsb).
f.          Sosialisasi dan public awareness campaign, melalui iklan layanan masyarakat (radio dan televisi), press conference, dialog terbuka-interaktif dengan masyarakat, maupun melalui internet.


V.   Kesimpulan

32.    Dalam upaya pengembangan dan pemanfaatan sumber daya air pada satuan –satuan wilayah sungai maka pendekatan penataan ruang merupakan input yang penting untuk :
·           Menjamin terjadinya keseimbangan antara kebutuhan (demand) dan penyediaan (supply) air baku bagi berbagai kegiatan sosial-ekonomi melalui pengaturan jenis (peruntukan) dan intensitas pemanfaatan ruang
·           Menjamin berlangsungnya fungsi-fungsi hidrologis melalui penetapan kawasan-kawasan berfungsi lindung sehingga kontinuitas ketersediaan air pada musim kemarau dapat terjaga, sementara resiko terjadinya bencana dapat diminimalkan.
·           Mencegah terjadinya konflik pemanfaatan potensi sumber daya air antar sektor maupun antar wilayah, dimana penataan ruang berfungsi sebagai landasan pelaksaaan koordinasi dan kerjasama pembangunan.
33.    Disamping itu, beberapa hal yang perlu ditempuh dalam rangka operasionalisasi kebijakan perhatian meliputi :
·           Peningkatan kesadaran dan peranserta masyarakat  dalam penataan ruang  yang bertujuan untuk mencegah terjadinya bencana banjir dan longsor melalui sosialisasi informasi pemanfaatan ruang secara kontinu dan sistematis
·           Penegakan hukum (law enforcement) secara konsisten terhadap penyimpangan pemanfaatan rencana tata ruang – sebagai produk hukum – yang mengancam terganggunya keseimbangan ekosistem yang berdampak pada terjadinya bencana yang merugian masyarakat luas.
·           Penyelenggaraan prinsip-prinsip good governance dalam bidang penataan ruang, seperti transparansi, akuntabilitas, efisiensi, keadilan, keberlanjutan pembangunan, dan pelayanan publik (misalnya mekanisme perizinan pemanfaatan ruang).















Daftar Pustaka

Asian Development Bank, Climate Change in Asia ; Indonesia Country Report on Socio-economic Impacts of Climate Change and a National Response Strategy, Regional Study on Global Environmental Issues, July 1994
Diposaptono S., Pengaruh Pemanasan Global terhadap Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia, Direktorat Bina Pesisir – Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil - DKP, 2002.
Dirjen Penataan Ruang – Depkimpraswil, Antisipasi Dampak Pemanasan Global dari Aspek Teknis Penataan Ruang, Makalah pada Seminar Nasional tentang Pengaruh Global Warming terhadap Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Ditinjau dari Kenaikan Permukaan Air Laut dan Banjir,  BKTRN, Jakarta, 30 – 31 Oktober 2002
Ditjen Penataan Ruang – Depkimpraswil, Review Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional : Kebijakan Spasial untuk Pengembangan Kemaritiman Indonesia, Bahan Sosialisasi RTRWN dalam rangka Roadshow dengan Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta, 11 Oktober 2002.
Menkimpraswil, Kebijakan dan Program Terpadu Bidang Permukiman dan Prasarana Wilayah dalam rangka Penanganan Banjir Nasional, Makalah pada Forum Sains dan Kebijakan Penanganan Bencana Banjir, ITB, Bandung 22 Maret 2002
Menkimpraswil, Kebijakan Penanganan Banjir di Indonesia, Makalah pada Seminar Nasional Permasalahan Banjir di Indonesia, HMS – Universitas Atmajaya Yogyakarta dan HATHI, Yogyakarta, 20 April 2002
Ditjen Penataan Ruang – Depkimpraswil, Review Rencana Tata Ruang Wilayah Pulau Jawa, 2002.
Siswono, Y., KAPET dan Peningkatan Produksi Pertanian, Butir-butir Bahan Masukan pada Acara Temu Usaha dan Diklat Sumber Daya Manusia KAPET, Mataram, 26 Oktober 2001
Syafaat, N., Besaran, Determinan dan Kebijakan Pengelolaan Konversi Lahan Pertanian, Ringkasan Eksekutif Makalah pada acara Round-Table Discussion di Bappenas, Jakarta, 5 November 2002,
_______, Bahan Rapat Menkimpraswil pada Rakor Bidang Perekonomian, Depkimpraswil, Jakarta, 1 Maret 2002.


[1]   Makalah ini disajikan sebagai Supporting Paper dalam Workshop Persiapan 3rd World Water Forum yang diselenggarakan di Bali , 31 Januari– 1 Februari 2003.
[2]    Tingkat kekritisan pada satuan wilayah sungai (SWS) dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor, yakni : (1) coefficient of variation yang menggambarkan fluktuasi debit atau kestabilan air, (2) indeks penggunaan air  yang mencerminkan rasio antara jumlah air yang digunakan dengan ketersediaan air, serta (3) pencemaran air akibat masuknya limbah domestik, industri, pertanian, maupun pertambangan.

[3]     Britain’s Meteorological Office (November 1999)  dalam http://www.ecobridge.org.htm
[4]     Dengan kondisi pangan saat ini, Indonesia telah menjadi negara importir pangan dengan nilai sebesar Rp.16,62 trilyun (2000), sementara pada tahun 2035 diperkirakan tambahan ketersediaan pangan nasional lebih dari 2 x jumlah kebutuhan saat ini.. Dan apabila sentra-sentra pangan nasional tidak dapat dipertahakan keberadaannya , maka Indonesia akan menjadi nett importir pangan yang sangat besar  pada masa mendatang.(Siswono, 2001)
[5]     ADB (1994)
[6]        Bahan Rapat Menkimpraswil pada Rakor Bidang Perekonomian, Depkimpraswil, Jakarta, 1 Maret 2002
[7]        Diambil dari Bahan Pemaparan Dr. Nizwar Syafaat dari Litbang Pertanian Bogor pada acara Round table discussion di Bappenas, 5 November 2002,
[8]        Diolah dari hasil Review RTRWN, edisi Juni 2000
[9]        Bahan Persiapan Sidang Kabinet Terbatas Bulan Maret 2002 tentang Program Penanganan Banjir Bidang Penataan Ruang di Jabotabek dan Bopunjur, Depkimpraswil, 21 Februari 2002.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar